Daeng Muhammad ; Yang Tak Boleh Itu Menghina DPR, Kalau Mengkritik Boleh
POSKOBERITA.COM, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Daeng Muhammad menyampaikan pendapat terkait pasal penghinaan parlemen yang dikritisi banyak kalangan. Daeng mengatakan, pasal tersebut diatur pasal 122 poin k dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Beleid pasal itu menyebut Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
“Yang berpotensi dapat melakukan perbuatan merendahkan DPR, MPR maupun DPD tidak selalu dan bukan harus pihak luar, maksud dari pihak luar adalah masyarakat luas,” ujarnya, Senin (19/02/2018).
Menurutnya, Anggota DPR sendiri berpotensi dan bisa melakukan merendahkan (menghinakan) kehormatan Institusi Negara seperti DPR, MPR maupun DPD. Disinilah UU MD3 hadir untuk menjadi payung hukum tersebut. Ini yang membedakan dalam tafsir yang dirumuskan dalam kedua UU tersebut.
“Jika ada Anggota DPR yang memang tidak mampu bekerja dan tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat luas, maka kritik kinerja bagi DPR masih sangat pantas dilakukan masyarakat.” jelasnya. Namun lain hal jika yang dilakukan masyarakat adalah merendahkan dan menghina kelembagaannya.
Sedangkan dalam RKUHP tentang pasal penghinaan presiden, hanya merangkum substansi pasal 134, 136, dan 137 KUHP yang ada saat ini, yaitu menempatkan raja atau ratu sebagai simbol negara.
“Padahal, hal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Dan sejarah dari pasal penghinaan presiden yang ingin diberlakukan saat ini adalah produk hukum VOC yang diwariskan di KUHP,” tambahnya.
“Ini kan produk Belanda yang diambil ketika Inggris menjajah India, kemudian di copy paste oleh Belanda di Hindia Belanda dan diwariskan ke KUHP kita.” kata Daeng.
Menurutnya, Presiden bukanlah simbol negara karena berdasarkan UU 24/2009, yang dimaksud dengan simbol negara adalah bendera, bahasa dan lambang negara Pancasila.
“MK selain membatalkan norma penghinaan kepada Presiden, juga menurunkan gradasi pasal 207 KUHP penghinaan terhadap pejabat publik sebagai delik aduan,” kata politisi PAN dari Dapil 7 Jawa Barat ini. (Mabrur)


