KARAWANG — Inilah Kompleks Candi Batujaya, kompleks candi tertua yang pernah ditemukan di Indonesia hingga saat ini. Melalui metode isotop Carbon-14, candi Budha ini dibangun pertama kali antara abad ke-6 dan ke-7 dan dilanjutkan abad ke-9 dan ke-10.
Tidak hanya tertua, keberadaan candi di dekat Sungai Citarum ini seakan memberikan bukti Indonesia dilahirkan lewat rahim orang-orang berbekal teknologi tinggi.
Situs percandian Batujaya berjarak kurang dari 1 kilometer di sebelah timur aliran Sungai Citarum. Luas kompleksnya mencapai 5 kilometer persegi atau 500 hektar yang mencakup wilayah Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya Kecamatan Pakisjaya, sekitar 47 kilometer arah barat laut dari pusat kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Bukti lain di dekat Batujaya pernah ada pelabuhan laut antar negara bisa dilihat dari penemuan benda kuno beragam bentuk di tepi Sungai Citarum dekat Batujaya.
Daerah itu diduga kuat sebagai muara Citarum. Benda itu seperti cermin, peralatan perunggu, gelang loklak, dan keramik dari Guandong yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10. Benda itu diduga adalah bahan pertukaran atau jual beli di muara Citarum.
Arkeolog dari Universitas Indonesia Hasan Jafar mengatakan budaya muara dan sungai sangat memengaruhi perkembangan kebudayaan Candi Batujaya.
Masyarakat di sekitarnya lebih mudah menerima budaya baru dan kreatif mengembangkan beragam hal. Hasilnya, meski dianggap yang tertua, Candi Batujaya menonjol dalam pengembangan teknologi.
”Ada pengaruh tradisi dari Nalanda di India Utara. Kebudayaan India itu datang seiring banyaknya pendatang dari berbagai negara di pantai utara Jawa Barat,” ujarnya.
Pengolahan tanah liat menjadi batu bata, misalnya. Proses pembuatan batu bata sangat maju karena menerapkan inovasi campuran sekam atau kulit padi. Campuran itu diyakini mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celcius.
Teknologi lain adalah stuko atau plester berwarna putih berbahan dasar kapur. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang Selatan.
Perbukitan itu masuk dalam Formasi Parigi yang terdiri dari batu gamping klastik dan batu gamping terumbu yang melintang dari arah barat ke timut dengan panjang 20 kilometer.
Bahan pembuatan dan kegunaannya pun disesuaikan dengan tujuan penggunaan. Untuk melapisi tembok, arsitek mencampur kapur dan kulit kerang. Hal ini terkait keberadaan candi yang berada di tepi pantai.
Kerang dianggap sebagai bahan kuat penahan abrasi air laut. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Untuk ini, biasanya pekerja membakar kapur dengan suhu 900-1.000 derajat celsius. Sedangkan untuk memperoleh fondasi yang kuat, kapur dicampur dengan pasir, dan kerikil.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung Lutfi Youndri mengatakan, belum semua keunggulan Batujaya bisa diungkapkan ke permukaan. Dari 30 yang telah dieskavasi sebanyak 8 situs belum dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan, dari 22 situs yan telah tergali informasi pun belum selengkapnya diketahui.
Oleh karena ia mengharapkan agar ke depannya, minat untuk menggali lebih dalam tentang pesona Batujaya bisa datang lebih banyak dari berbagai pihak. Bukan sekedar bernostalgia tapi memetik semangat yang ada di dalamnya.
“Salah satu yang menarik digali adalah kemungkinan adanya kanal yang mengelilingi layaknya bangunan suci kuno. Bila benar, maka akan semakin nyata bukti bahwa air, sungai dan laut adalah identitas utama masyarakat Batujaya,” katanya. (M Kurniawan dan Cornelius Helmy)
Kompas, April 2011
Foto : lihat.co.id